header-photo

Merakyatkan Pajak, Mensejahterakan Rakyat



Di negara – negara maju, pajak adalah kepastian. Keikutsertaan masyarakat akan pembayaran pajak adalah kewajiban yang tak bisa dihindari. Seperti kematian, warga tak bisa bersembunyi dari pajak. Namun hal itu tak berlaku di negara kita, siap saja bisa menghindar dari pajak. Caranya sederhana, berlindung dibalik selimut aturan perpajakan itu sendiri.
  
Terobosan terbaru Ditjen Pajak, PP 46 Tahun 2013
Tak satupun penduduk bumi yang suka bayar pajak. Namun siapa yang tidak tergiur tinggal dengan nyaman dan sejahtera seperti warga Norwegia dan Swedia yang menurut laporan The Economist dalam  Pocket World in Figures, warga negara- negara tersebut memiliki kualitas hidup terbaik di dunia.

Rahasia kesejahteraan warga tersebut bisa jadi karena keberhasilan pemerintahnya untuk ‘mengajak’ masyarakat turut serta mendanai perekonomiannya dengan pajak. Sejalan dengan hal tersebut, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) di tahun 2012 melansir bahwa negara-negara sejahtera itulah yang secara konsisten dari tahun 1965-2010 memiliki tax ratio tertinggi di dunia, bahkan hingga 50.8% (capaian untuk Denmark tahun 2005).

Di Indonesia tax ratio (2012) baru mencapai kurang lebih 15%. Jauh tertinggal dari negara-negara peserta OECD. Tapi dengan tax ratio yang hanya kisaran belasan persen tersebut, pajak sudah dapat menopang kurang lebih 70% APBN. Bayangkan jika keikutsertaan masyakat meningkat separuhnya saja, APBN akan dapat seluruhnya dibiayai oleh pajak. Dan penerimaan negara lainnya dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 

Lalu angan-angan tersebut mengapa hingga kini masih menjadi mimpi indah saja? Jika berbicara tentang rendahnya kepatuhan wajib pajak, baik pemerintah maupun masyarakat pasti punya sederet alasan masing-masing. Masyarakat misalnya, malas bayar pajak dengan alasan kerepotan dengan administrasi dan peraturan yang tidak praktis. Dari malas kemudian bertambah menjadi apatis karena jengah melihat ulah pejabat yang seenaknya mengkorupsi uang negara hasil dari pengumpulan pajak. Sedang pemerintah berkilah tentang rendahnya kepatuhan karena sejumlah alasan teknis hingga kurangnya kesadaran masyarakat.
Lalu sampai kapan wajib pajak lari dengan tameng sulitnya administrasi dan pemerintah bersembunyi dalam alibi minimnya partisipasi?

Pajak 1%, Upaya Merakyatkan Pajak
Baru-baru ini, pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai pajak final atas penghasilan wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu. Peraturan pemerintah yang tertuang dalam PP No. 46 Tahun 2013 ini dipahami oleh masyarakat sebagai pajak untuk sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Peraturan ini merekontruksi metode penyetoran pajak bagi wajib pajak yang memiliki omset sampai dengan Rp.4,8 Milyar. Wajib pajak yang tadinya harus menghitung angsuran pajaknya dengan rumit, kini hanya dengan satu tarif yaitu 1% dari omsetnya setiap bulan. Selain tarif yang rendah, wajib pajak juga tidak perlu dipusingkan dengan pelaporan tiap bulan. Karena tarif tersebut bersifat final akhir tahun wajib pajak juga tidak perlu memperhitungkan kembali penghasilannya. Sekali bayar tiap bulan, selesai. 

Dengan tarif yang rendah, penerapan PP No. 46 tahun 2013 ini diprediksi akan menurunkan pembayaran pajak bagi sektor UMKM namun berpotensi memperluas basis pembayar pajak. Karena tujuan dari peraturan ini adalah kesederhanaan, maka fokusnya adalah kemudahan. Satu tarif dengan besar 1% dinilai dapat diaplikasi dengan mudah oleh masyarakat. Harapannya, semakin banyak wajib pajak yang mau bayar pajak karena perhitungan yang mudah.  

Namun alih-alih disambut gembira oleh wajib pajak, peraturan pemerintah ini justru panen akan kritik. Isu keadilan mulai mengemuka karena wajib pajak menganggap peraturan ini telah melanggar hak-hak wajib pajak. Antara lain wajib pajak tidak lagi dapat mengkompensasi kerugian, sementara itu penghasilan tidak kena pajak (PTKP) juga tidak lagi diberikan kepada wajib pajak orang pribadi lantaran pajak yang disetor bersifat final, sehingga tidak ada lagi perhitungan untuk akhir tahun. 

Penerapan peraturan ini boleh jadi menepikan hak-hak wajib pajak, namun semangat pemerintah untuk menyederhanakan pajak juga salah satu upaya untuk mencapai keadilan. Selama ini alasan kesulitan wajib pajak dalam memahami peraturan pajak membuat mereka enggan bayar pajak. Akibatnya angka kepatuhan rendah. Target penerimaan pajak ditanggung oleh wajib pajak yang itu-itu saja. Sedangkan sebagian besar masyarakat bersembunyi dan menjadi free rider ikut menikmati manfaat pajak. Mirisnya, sebagian masyarakat yang bersembunyi adalah mereka yang mampu dan sanggup bayar pajak.

Sisi Lain Dari Keadilan Pajak
Dari pro kontra penerapan peraturan tersebut, keadilan akan pajak sesungguhnya dapat dilihat dari sudut pandang yang lain. Selama ini wajib pajak menuntut terpenuhinya hak-hak yang tertuang dalam ketentuan umum perpajakan, dimana pembayar pajak punya kesempatan mengkompensasi kerugian, dipajaki jika untung dan tetap mendapatkan batasan PTKP. Namun sesungguhnya yang perlu dituntut adalah mereka yang masih bersembunyi. Yang harusnya dituntut demi keadilan adalah mereka yang menjadi free rider akan manfaat pajak padahal sesungguhnya mereka mampu untuk membayar pajak. 

Direktur P2Humas Ditjen Pajak, Kismantoro Petrus pada suatu kesempatan mengatakan bahwa pada proses observasi, yang sejatinya menjadi beban masyarakat usaha bukanlah pajak, tapi pungutan liar yang dilakukan preman berseragam hingga oknum aparat pemerintah. Menyisihkan Rp 100 dari Rp.10.000 atau pajak 1% dari omset penghasilan bukanlah hal yang berat. Para pelaku usaha justru berharap pungutan liat tersebut bisa diberantas. Mereka berkeinginan agar dengan membayar pajak, pemerintah punya upaya lebih untuk memerangi pungutan liar. 

Contoh nyata adalah pedagang PKL tanah abang yang berhasil direlokasi oleh pemda DKI. Selama ini PKL tersebut membayar jutaan rupian per bulan kepada oknum tertentu agar dapat berjualan dan menimbulkan kemacetan. Mereka membayar pungutan yang justru menciderai hak orang lain akan jalan umum. Kemacetan juga menimbulkan kerugian yang luar biasa. Jika saja semua pelaku usaha membayar pajak dengan benar, pemerintah akan punya dana untuk membuatkan tempat yang layak bagi mereka berjualan. Tidak ada lagi pungutan liar yang mencekik pedagang. Sedang biaya perawatan gedung juga akan dibiayai dari pajak yang mereka bayarkan. 

Namun masyarakat masih terjebak dalam paradigma bahwa pajak adalah beban yang menyengsarakan. Bukan upaya yang mensejahterakan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat proses pajak dapat mensejahterakan butuh waktu yang panjang. Butuh 45 tahun bagi Denmark meningkatkan tax rationya dari 30% menjadi dsatas 45%. Masyarakat kita tidak sabar dan menginginkan cara yang pragmatis untuk memperoleh kesejahteraannya, meraup untung dan menghindari pajak. Kesabaran masyarakat tersebut juga tergerus dengan korupsi yang mengakar dan mewabah.  

Namun hal ini jangan sampai membuat langkah pemerintah surut. PP No. 46 tahun 2013 memang bukanlah peraturan yang sempurna. Ditjen Pajak juga terus melakukan penyempurnaan dalam penerapannya di lapangan. Yang perlu diingat adalah pemerintah telah membuat satu langkah maju untuk memperluas basis pembayar pajak, berupaya untuk meningkatkan keikutsertaan masyarakat terhadap pajak. Merakyatkan pajak untuk mensejahterakan rakyat.

Bangku Kuliah untuk Wita

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah penyandang disabilitas melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta Pusat, Rabu (12/3).
Mereka menuntut dihapusnya aturan ujian Saringan Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri  (SNMPTN) 2014 yang kaum difabel tidak bisa mengikuti ujian beberapa jurusan yang berada di pergururan tinggi negeri. (Rabu, 12 Maret 2014, 19:02 WIB)


Para penyandang disabilitas ini memprotes persyaratan yang dicantumkan di website SNMPTN (www.snmptn.ac.id) untuk beberapa jurusan tertentu. Persyaratan tersebut antara lain:

1. Tidak tuna netra
2. Tidak tuna rungu
3. Tidak tuna wicara
4. Tidak tuna daksa
5. Tidak buta warna keseluruhan boleh buta warna sebagian
6. Tidak buta warna keseluruhan maupun sebagian 
7. Lihat persyaratan khusus di website PTN

Penempatan persyaratan ini sebenarnya wajar-wajar saja asal pada jurusan yang tepat. Misalnya untuk jurusan IPA. Sulit rasanya bagi penderita tuna netra untuk kuliah di jurusan biologi atau kimia. Atau misalnya sastra yang mengharuskan mahasiswanya mampu berkomunikasi aktif sehingga mensyaratakan nomer 2 dan 3. Namun di tahun ini ada yang berbeda. Karena ada miskoordinasi, beberapa universitas menetapkan sepihak syarat-syarat per jurusan. Selain tidak dikoordinasikan dengan Kementrian Pendidikan, pencantuman syarat-syarat tersebut juga belum dikonfirmasi kepada rektor universitasnya.

Hal ini terbukti ketika di program Suara Anda Metro TV (Rabu, 12 Maret 2014), Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) misalnya yang mengatakan ada kesalahan unggah yang seharusnya tidak mencantumkan syarat-syarat yang tidak tepat bagi jurusan-jurusan di universitasnya. Menteri Pendidikan juga mengatakan hal ini tidak seharusnya terjadi, dan berjanji akan mengevaluasi pencantuman persyaratan yang tidak tepat tersebut. 

Syarat kepesertaan SNMPTN dari Universitas Negeri Jakarta. Sumber : www.snmptn.ac.id (diakses 21 Maret 2014)
Namun hingga seminggu berlalu, website masih belum berubah. Masih mencantumkan persyaratan panjang bagi peserta. Seperti jurusan sosiologi di UNJ yang menghendaki lengkap syarat 1,2,3,4,dan 6. Padahal di Universitas Indonesia misalnya, mahasiswa tuna netra bisa mengambil jurusan Hukum dan Sastra.


Kuliah yang kita anggap sebagai proses lumrah, dan mudah untuk dijalani ternyata tidak begitu bagi para penyandang disabilitas.Tidak cukup keterbatasan yang sudah mereka terima sebagai takdir, pembatasan untuk belajar tentunya makin mempersempit ruang gerak mereka.

Seketika saya ingat peristiwa dua tahun lalu
Namanya Wita

Satu - satu

oleh :  iwan fals
Satu satu daun berguguran
Jatuh ke bumi dimakan usia
Tak terdengar tangis tak terdengar tawa
Redalah reda

Satu satu tunas muda bersemi
Mengisi hidup gantikan yang tua
Tak terdengar tangis tak terdengar tawa
Redalah reda

Waktu terus bergulir
Semuanya mesti terjadi
Daun daun berguguran
Tunas tunas muda bersemi

Satu satu daun jatuh kebumi
Satu satu tunas muda bersemi
Tak guna menangis tak guna tertawa
Redalah reda

Waktu terus bergulir
Kita akan pergi dan ditinggal pergi
Redalah tangis redalah tawa
Tunas tunas muda bersemi

Waktu terus bergulir
Semuanya mesti terjadi
Daun daun berguguran
Tunas tunas muda bersemi







Hujan

Jakarta pagi ini, HUJAN

Dan pemandangan yang terserak sepanjang jalan adalah macet. Dan kehawatiran berikutnya adalah terlambat masuk kantor. Hujan di Jakarta saya terima dengan perasaan yang berbeda dengan tahun-tahun lalu saat masih tinggal di kota kecil ujung pulau Jawa. Hujan adalah kesyukuran. Ada perasaan bahagia yang menyelusup setika bulir-bulir air satu persatu mulai berjatuhan menciumi tanah dan menerbangkan debu-debu halus. Aroma hujan begitu mempesona. Dulu hujan pun punya cita rasa. Yang menyenangkan, menenangkan. Sama-sama pagi. Sama-sama punya kewajiban di pagi hari yang harus dituntaskan, berangkat sekolah - yang sekarang berganti dengan berangkat ke kantor. Tapi dingin hujan tetap bisa saya nikmati dengan riang. Oh ya, saya juga tak punya jas hujan, jika hujan ya diterima saja sambil kebasahan ke sekolah. Tak ada gerutu, tak ada penyesalan.

hujan punya banyak cerita :)


Pagi ini, seperti pagi - pagi hujan Jakarta sebelumnya, selalu ada perasaaan risau melihat hujan yang datang tiba-tiba dari sebelum subuh. Artinya, saya harus berangkat jauh lebih awal, masih gelap. Bis jemputan kantor bisa jadi tidak datang karena rumah sang supir kebanjiran. Sedih. Lalu diperjalanan, saya lihat tukang sayur langganan ibu yang sudah tua, menggelar dagangannya ditepi jalan. Dia kebasahan, dagangannya sepi, tak ada pembeli. Sedih. Belum lagi di jalan selalu was-was jalanan akan macet. harus cari jalan alternatif. terlebih jika sudah macet dan tag, khawatir bensin mobil kami cukup atau tidak, terlambat absen atau tidak, memikirkan suami apakah bisa menembus 3 in 1 di Sudirman atau tidak. Sedih. Dan yang terakhir ketika buka smartphone dan baca timeline TMC Polda Metro, seketika akan akan terhampar foto-foto banjir, dan macet dimana-mana. Ini bukan sedih lagi, MIRIS. Padahal saya hanya duduk disamping suami, menemaninya menyetir dengan tenang. Tidak kebasahan, tidak kecipratan air dari kendaraan yang melintas yang sering saya alami waktu berangkat sekolah dulu.Harusnya saya bisa menikmati hujan dalam diam. Tapi nyatanya tidak. Dan perjalanan lambat menuju kantor pagi ini membuat saya rindu pada hujan di kota kecil saya. Dimana ketika hujan, ibu membisikkan kata-kata, "kalau hujan turun, jangan lupa berdoa."

We Are One Big Family (Hikayat Staples dan Sortir Negara: Part 2)

Menyukai tempat, pastilah berasalan. Barangkali pemandangannya, bentuknya, warnanya, ornamennya, atau bahkan tetumbuhannya. Namun, daya tarik yang paling kuat dari sebuah tempat adalah orangnya. Bersama siapa kita berada disana. Oleh karena nya, kita kadang rela menumpuh ribuan mil untuk menuju suatu tempat, dengan alasan: menjumpai kenangan.

Merindu penghuni PPDDP (masih dengan bapak Kiesmantoro sebagai Kepala kantor)
Sedang di sisi lain, ada pula orang - orang yang enggan beranjak dari tempatnya, bukan karena betapa mewahnya tempat dia berpijak saat ini, namun mereka enggan untuk melakukan perpisahan, dengan orang-orang yang ada di tempat yang sama. Karena, perpisahan, selalu menguras tenaga.

Dan tempat yang akan kuceritakan kemudian adalah bangunan delapan lantai, yang menampung puluhan ribu dokumen negara dan berdesakan dengan kenangan - kenangan indah kami disetiap sudutnya. Kami, 79 anak - anak muda kala itu datang dengan lugu, dengan baju hitam putih kami yang lusuh berkenalan pertama kali dengan bangunan itu beserta penghuninya. Kubus besar yang gagah menjulang itu, empat tahun kemudian tidak hanya jadi bangunan kaku, namun jadi rumah yang memberi hangat untuk kami. Kami menyebutnya, PPDDP

Bagaimana PPDDP, saya sudah ceritakan di artikel sebelumnya, kali ini saya akan bercerita tentang penghuninya. Mengapa kami sangat sayang, sangat senang dengan PPDDP. Tidak lain karena kehangatan orang-orang disana. Stay tune disini yaa :)

Semeru menggebu


Ketika itu, saya sudah berada di tepi jurang. Ingin menuruni tebing dan nekat menjumpai buih ombak laut jauh di dasar tebing. Dan tak lama dari keputusan saya yang prematur itu, ada sebuah pesan. Yang berdenting menarik perhatian. Kuputuskan untuk mengintip sebentar. 

Naik Gunung yuk, Semeru. Gimana menurutmu?
Dari pada kamu turun sendirian, aku temani kamu memuncak, membuat cita - cita baru.




Dan setangkup rindu pada hawa dingin serta hangat mentari yang begitu disyukuri hadirnya di gunung tiba - tiba hadir. Menggulung keinginan yang tadi membuncah menuruni tebing di depan mata. Berbalik dan mulai melangkah menuju tempat pertemuan. Rindu pada sahabat saya yang seringkali menjadi penyelamat dari keputusan - keputusan yang gegabah dan tidak berarah.

Tapi, naik gunung? sedangkan lift adalah benda yang amat saya idamkan di kampus. Terengah - engah sambil mengutuki manajemen kampus dengan kata - kata yang selalu diulang: kemana uang sumbangan pendidikan saya, hingga kami mahasiswa yang bayar mahal di siksa naik tangga seperti ini.  

Tapi, naik gunung? sedang hal - hal yang bersifat - pengetahuan alam- saya amat sangat terbatas. Naik gunung baru satu kali. Dan lebih tepatnya wisata ke gunung yang tak lebih dari 3000 mdpl.menapaki tanjakan satu demi satu pastilah sesuatu.

dan Semeru?
Ya semua orang tahu. Siapapun yang berhasil menapakkan kaki di puncaknya patutlah berbangga hati. Dan saya pun selalu bertanya - tanya, orang - orang seperti Soe Hok Gie,  mau menantang maut dan dikalahkan oleh ajalnya di gunung itu, pastilah semeru ini memikatnya dengan luar biasa.

Tapi belum apa - apa, entah apa yang membuat saya begitu bahagia dengan membayangkan puncak gunung. Membayangkannya saja sudah melecut semangat. Saatnya lah saya hadir dalam perayaan kemenangan yang sesungguhnya. Yakni perayaan pembuatan cita - cita baru.

Hari itu, dengan hati yang berbahagia, dengan cemas yang juga sedikit merayap saya memulai.

dan Sungguh Tuhan Maha Baik, Dia memberiku banyak bahkan apa yang tak kuminta. Beberapa sempat kutulis dan ingin saya bagi dengan kalian ke beberapa segmen. Semoga sempat. :)


Life in Flower Land


Dalam dunia imaginasi saya, tak perlu rumah mewah, mobil mewah dan segala harta benda. Tapi bercita - cita ingin punya rumah ditengah taman bunga bak dongeng anak - anak. Masih boleh kan berminpi ala princess?

Kecintaan saya pada bunga entah sejak kapan. Berawal dari seringnya mengunjungi rumah guru SD buat bimbingan belajar. Rumahnya mungil, maklum rumah dinas, tapi sekelilingnya bunga dan tanaman dimana-mana. Nyaman rasanya. Tiap keluar rumah langsung timbul semangat karena mata dimanjakan dengan kesegaran alam. Ada suara gemericik air mengalir. Surga dunia lah pokoknya. Cinta pada bunga ini makin menjadi - jadi sejak saya menemukan pasar bunga yang bernama Rawabelong. Tak terkatakan lah bahagianya setiap kali saya ada disana.

Sayang orang tua dan saya beda selera. Buat ayah dan ibu, taman, bunga, kolam dan semacamnya itu nomer dua. Yang penting penghuninya ga kena panas ujan aja. Udah, cukup. Mau perabot taruh mana, warna korden ga matching sama sofa dan lain - lainnya. yang penting ada. ga pusing dengan estetika. keindahan bukan concern utama. karena saya bukan sponsor utama, malah pihak yang disponsori, apalah daya bargaining power saya kecil saudara - saudara.

Jadi, impian rumah idaman itu hingga saat ini belum terwujud. Rumah dengan saung dari kayu di kaki gunung, dengan taman bunga sekeliling. Tak perlu besar. Tapi cukup untuk menampung beberapa anak mungkin belasan bermain dan belajar disana. Bukan anak saya saja (nanti) tapi juga orang - orang lingkungan sekitar. Cita - cita besarnya, di Flower Land tadi, hidup saya dengan keluarga kecil, beserta anak - anak desa yang saya didik agar menggenggam erat cita citanya. Jadi apa saja terserah mereka, saya adalah penjaga sekaligus pembangkit optimisme agar anak - anak lugu itu tetap bercita - cita. Yang ketika itu, semoga cita - cita bukanlah hal yang langka. Yang ketika itu, entahlah negara kita makin semrawut atau sudah lebih baik. 

Rumah ini terlalu besar, namun ada dikaki gunung ijen lengkap dengan bunga ala belanda.